Pemikiran Politik Ibnu Sina Tentang Negara

oidhar
3 min readJun 6, 2021

--

Resensi buku, “Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Sina” karya H. Zaenal Abidin Ahmad.

Buku : Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Sina — H. Zaenal Abidin Ahmad

Bukankah sangat mengherankan jika Ibnu Sina yang telah menduduki jabatan penting pemerintahan dan mengarang buku-buku politik, tidak masuk dalam jajaran sarjana politik Islam.

Apakah mungkin sarjana dan negarawan besar yang demikian itu tidak meninggalkan sesuatu tentang kenegaraan sebagai hasil pemikiran dan pengalamannya yang berharga? Sehingga jejaknya perihal dunia politik jarang dibahas.

Ibnu Sina mengetahui ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad mempunyai ajaran tentang politik kenegaraan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran lainnya, sama seperti tentang keimanan dan penyembahan (ibadah) kepada Tuhan. Dengan bersumber pada ajaran-ajaran Islam yang diyakininya, maka pastilah teori politik yang dikemukakan Ibnu Sina berjiwa Islam.

Pengalamannya di bidang politik telah mencapai jabatan tinggi hingga setingkat di bawah kepala negara. Namun ia juga mengalami penderitaan menjadi orang biasa dan bersembunyi hingga dijebloskan ke dalam penjara. Tuhan telah memberinya kecerdasan yang digunakannya untuk keperluan politik, bahkan juga untuk kepentingan ilmiah.

Jika Al Farabi mengambil jalan dari atas lalu menuju ke bawah, memberatkan pembicaraan pada “kepala negara”, barulah bicara soal rakyat. Ibnu Sina memulainya dari bawah ke atas. Ia berpendapat kepala negara bukanlah sumber kekuasaan dari negara tetapi hasil atau akibat dari kekuasaan yang berada di tangan rakyat.

Baginya moral merupakan landasan utama bagi pembentukan falsafah politik, teori politik, dan ideologi politik. Dalam hal teori politiknya pendapat Plato tentang mengutamakan hidup bersama (kolektif) lebih disetujuinya dibanding dengan paham Aristoteles yang bersifat individualis. Sebagaimana dalam Islam mengemukakan paham ukhuwah (persaudaraan) dan ta’awun (kolektif), pastilah sejalan dengan pendapat Plato daripada pendapat Aristoteles.

Ibnu Sina lebih mengedepankan prinsip “kerakyatan”, kemudian menyusun politik dan ekonomi menjadi “politik kerakyatan” dan ekonomi kerakyatan”.

Dalam bukunya “As Siyasah” mengandung 3 unsur penting yaitu :

  1. Pendidikan, sebagai landasan utama bagi pembentukan pribadi masing-masing manusia menjadi warga negara.
  2. Rumah Tangga (Keluarga), sebagai ikatan hidup yang pertama yang ditegakkan oleh manusia, yang paling kurang terdiri dari laki-laki (suami), wanita (istri), anak-anak dan pembantu.
  3. Politik Negara, sebagai ikatan resmi yang menghubungkan segenap manusia yang menjadi warga negara, harus menjunjung hukum yang satu dan pemerintah yang satu.

Sedangkan keterangan Ibnu Sina dalam buku “As Syifa”, Dr Muhammad Yusuf Musa menyimpulkan segala uraian itu pada 12 pokok, yaitu :

  1. Manusia adalah makhluk hidup sosial.
  2. Manusia mempunyai hak milik.
  3. Tidak boleh membunuh orang-orang yang tidak berdaya lagi untuk masyarakat, baik karena usianya yang sudah lanjut, atau karena cacat, ataupun karena menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
  4. Setiap orang yang bertalian darah atau hubungan kerja, dapat dipikulkan tanggung jawab untuk membayar hukuman denda atas seseorang.
  5. Dilarang keras melakukan usaha dan pekerjaan yang tidak ada manfaatnya untuk masyarakat, seperti berjudi, mencuri, membungakan uang dan lainnya.
  6. Diwajibkan perkawinan dan mengumumkannya kepada rakyat, untuk membentuk kehidupan berumahtangga dan berkeluarga.
  7. Kedudukan yang sama antara wanita dan laki-laki, dan jika ada perbedaannya hanya sedikit sekali.
  8. Diawasi dengan keras tentang terjadinya “perceraian”, untuk memelihara dan mempertahankan keutuhan rumah tangga dan menjaga kontinuitas pendidikan anak-anak, serta kerukunan hidup suami istri.
  9. Suami harus memberi belanja yang cukup, baik untuk kepentingan suami istri dan rumah tangga, maupun untuk pendidikan anak.
  10. Jabatan seorang kepala negara adalah dengan pencalonan dari kepala negara sebelumnya, atau langsung dengan pemilihan oleh wakil-wakil rakyat yang bernama “ ahlul halli wal ‘aqdi”.
  11. Tidak dibolehkan pimpinan negara diserahkan kepada dua orang, kecuali dalam keadaan yang sangat darurat.
  12. Kepala negara haruslah ikut serta dalam membesarkan syi’ar-syi’ar agama, upacara-upacara pelantikan, dan upacara-upacara umum.

--

--

oidhar
oidhar

No responses yet